CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 15 September 2010

PERIDIKSI GEMPA BUMI

Tue, May 18th 2010, 16:13
Tras Utama
Prediksi Gempa Bumi; Teori dan Kenyataan
Nazli Ismail - KONTRAS
WARGA Aceh, Minggu (9/05) kemarin lagi-lagi dikejutkan oleh gempa berskala tinggi 7,2 SR. Tak ayal sebagian besar warga kocar-kacir dan sebagiannya lagi mengungsi ke kawasan yang lebih tinggi dengan maksud menghindari tsunami. Kita, pada akhirnya, mesti menyiapkan diri agar siap dan mampu berteman dengan gempa. Akan tetapi, adakah instrumen yang mampu memprediksi bakal adanya gempa, sehingga kita bisa mempersiapkan diri secara lebih dini?

Prakiraan gempa bumi dalam jangka pendek mengindikasikan bahwa gempa bumi dalam rentang magnitude tertentu akan terjadi pada daerah tertentu dalam rentang masa yang tertentu juga. Namun demikian, prakiraan gempa bumi yang tepat baik dari segi waktu maupun lokasi sangat jarang didapat. Sehingga metode prediksi gempa bumi jarang digunakan untuk memperkirakan kapan gempa tersebut akan terjadi, tetapi lebih banyak metode tersebut dimanfaatkan untuk peganggulangan bahaya yang dapat ditimbulkannya. Proses penanggulangan ini dalam ilmu kegempaan dapat dilandaskan pada metode prakiraan gempa secara probabilistik ataupun deterministik.

Metode probabilistik mengacu pada teori peluang. Ketika kejadian-kejadian gempa besar pada masa lalu pada suatu daerah dipelajari secara seksama, maka pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk mereka-reka kejadian-kejadian serupa yang dapat terjadi pada masa mendatang. Biasanya gempa bumi yang serupa magnitudnya pada suatu daerah dapat berulang dalam jangka waktu tertentu.

Permasalahan utama dari metode statistik ini sangat bertumpu pada asumsi bahwa gempa bumi terjadi secara acak sepanjang masa. Tetapi, pada kenyataannya tidak selalu terjadi demikian. Zona sesar atau patahan yang merupakan pemicu gempa bumi bergerak dalam arah yang berbeda-beda dan dapat berinteraksi satu sama lain. Sebagai contoh pada gempa besar yang membangkitkan bencana tsunami Desember 2004 lalu. Gempa yang dahsyat tersebut telah memicu penumpukan tekanan (stress) pada bagian lain dari alur patahan yang sama sehingga melahirkan beberapa rentetan gempa-gempa yang lain dengan magnitud tidak kurang dari 7.0 skala Richter (SR) pada daerah yang sama. Peristiwa tersebut termasuk juga memicu gempa Nias (8.7 SR) yang menelan korban 1.300 jiwa pada Maret 2005, gempa Jawa (6.2 SR) yang menelan korban 5.800 jiwa pada Mei 2006, dan gempa Jawa (7.6 SR) yang menelan korban 600 jiwa pada Juli 2006. Peristiwa besar ini akan terus berlanjut pada bagian-bagian lain dalam lintasan sesar yang sama pada masa-masa mendatang.

Permasalahan lain dari metode probabilistik juga karena kesulitan mengelompokkan sifat-sifat berbeda yang dinampakkan oleh bagian-bagian sesar yang berbeda. Sebagai contoh, Sesar San Andreas di California menunjukkan ada dua bagian yang satu bersifat locked dan yang lain bersifat creeping. Bagian yang bersifat locked menghasilkan regangan (strain) sehingga dapat memicu gempa besar. Sedangkan bagian creeping dapat dilihat sebagai dua blok batuan yang menggilas satu sama lain secara kontinyu. Bagian creep yang demikian muncul karena adanya bongkahan batuan yang halus atau bahkan tanah lempung sehingga menjadi licin dan mudah bergerak. Ini bukan berarti bahwa zona tersebut aman dari gempa, pada bagian yang sangat dalam dari blok tersebut juga masih memungkinkan terjadinya pengumpulan tegangan (stress). Berdasarkan catatan yang ada, sangat sedikit gempa dengan skala menengah yang dipicu oleh proses regangan (strain) terjadi di daerah tersebut dalam kurun 200 tahun terakhir. Kondisi yang sekilas tampak tenang ini sebenarnya juga dapat memicu gempa setelah gaya regangan yang selama ini terkumpul membludak pada suatu waktu. Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) memperkirakan paling tidak akan terjadi satu kali gempa dengan kekuatan tidak kurang dari 6.7 SR dalam rentang waktu 2000 -2030 di California.

Kembali ke daerah kita, keadaan geologi sesar San Andreas di California sangat bersesuaian dengan kondisi Sesar Sumatra yang tepat membelah bagian tengah Sumatera dari Selatan ke Utara. Sepanjang catatan sejarah, telah terjadi sederetan gempa daratan di sepanjang Patahan Sumatera tersebut, termasuk gempa di Jambi dan Padang yang baru-baru ini terjadi. Namun, jalur Patahan Sumatera untuk daerah Aceh belum menghasilkan gempa yang signifikan. Fenomena ini dikenal dalam ilmu kegempaan dengan istilah seismic gap. Daerah seismic gap terjadi karena Patahan Sumatra di Aceh tidak terkunci sehingga hanya terjadi pergeseran lunak secara perlahan (creeping). Kemungkinan lain adalah sedang terjadi proses pengumpulan energi karena patahannya tidak mudah lepas atau dikenal juga dengan istilah lock. Energi yang terkunci dalam waktu lama tersebut dapat terlepas secara tiba-tiba bila telah mencapai tingkat kritis.

Berkaitan dengan kemungkinan potensi yang dahsyat demikian, Laboratorium Geofisika, Jurusan Fisika, FMIPA, Unsyiah yang bekerja sama dengan Nagoya University, Jepang telah melakukan beberapa survey awal tentang mitigasi gempa di Aceh. Hasil pengamatan GPS yang dilakukan pada beberapa jalur survey yang memotong Patahan Sumatra dan Patahan Ie-Batee menyiratkan bahwa kedua sesar tersebut memiliki karakteristik yang unik. Patahan Sumatra bersifat lock dan Patahan Ie-Batee bersifat creeping. Berdasarkan perhitungan SHA (Seismic Hazard Analysis) daerah Aceh Besar dan sekitarnya memiliki Bahaya Gempa dengan PGA sekitar 1.06 g. Karena itu, Aceh harus memiliki kewaspadaan terhadap bencana kegempaan di sepanjang Patahan Sumatra tersebut.

Metode deterministik
Metode prakiraan gempa secara deterministik berlandaskan pada pengamatan perubahan sifat-sifat fisika yang dipercayai dapat memicu gempa pada daerah sesar aktif. Perubahan-perubahan yang dapat diamati berupa pola seismisitas, variasi medan elektromagnetik, keadaan cuaca dan kemunculan awan yang aneh, emisi radon, permukaan air tanah, dan tingkah laku binatang-binatang tertentu.

Sebagian ahli seismologi menyatakan bahwa biasanya pada stasiun pencatat gempa sering terekam pola-pola seismisitas rekaman gempa tertentu sebelum gempa besar terjadi. Perubahan rekaman ini memungkinkan terjadi karena adanya perubahan keadaan gaya yang bekerja pada zona sesar yang akan patah. Selain itu selama proses dalam sesar aktif yang mendahului gempa berlangsung, sering juga terjadi perubahan pada medan magnet bumi. Kedua peristiwa tersebut dapat direkam dengan menggunakan peralatan geofisika seperti seismometer, gravitimeter, dan magnetometer secara kontinyu.

Sebagian ahli meteorologi menyatakan bahwa sering muncul pola-pola awan yang aneh yang berkaitan dengan proses pergerakan zona sesar aktif sebelum terjadi gempa bumi. Tanda-tanda semacam ini barangkali dapat dipercaya, namun demikian belum diperoleh alasan secara ilmiah yang dapat mengaitkan kedua peristiwa tersebut. Sebaliknya, laternatif pendeteksian yang lebih ilmiah dapat dilakukan dengan mengukur konsentrasi pelepasan unsur Radon dari dalam bumi. Sensor pendeteksi radon yang dipasang pada lubang pengeboran dan tanah setelah gempa bumi terjadi menunjukkan bahwa ada perubahan kosentrasi radon sebelum gempa bumi terjadi. Perubahan ini dapat diakibatkan oleh peristiwa retakan yang terjadi pada batuan ketika proses pemicu gempa bumi berlangsung. Sehingga unsur-unsur radioaktif radon yang terjebak dalam rongga-rongga batuan dapat terlepas. Peristiwa retakan blok tersebut juga dapat menyebabkan perubahan permukaan air tanah. Sehingga pengukuran perubahan permukaan air tanah secara kontinyu juga dapat digunakan untuk memprediksi gempa bumi.

Namun demikian, tingkat kebenaran dari metode-metode perkiraan gempa yang kita kemukakan tersebut belum terbukti sepenuhnya. Para ilmuwan yang mengemukakan teori tersebut juga belum mampu menjelaskan alasannya secara rinci. Sebaliknya, perubahan-perubahan fisis yang terjadi tersebut juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor alam lainnya. Sebagai contoh, turun-naiknya permukaan air tanah tidak hanya dipengaruhi oleh gerakan batuan pada daerah sesar aktif, tetapi juga sangat berkaitan dengan curah hujan, tekanan atmosfer, dan tutupan lahan. Sehingga akan ada banyak faktor yang perlu dilibatkan ketika kita ingin menggunakan metode-metode tersebut untuk memprediksi gempa.

Mengingat metode prediksi gempa bumi tidak dapat memberikan hasil akurat seperti yang diharapkan. Misalnya rentang waktu prediksi relatif lama dan tidak tertentu, misalnya dalam rentang 5 tahun sampai ratusan tahun kemudian dan perkiraan lokasi kejadian yang sangat luas. Dengan demikian, dalam upaya menanggulangi risiko bencana lebih baik kita mempersiapkan diri dengan kemungkinan peristiwa tersebut, daripada bertumpu semata-mata pada kapan gempa tersebut akan terjadi. Sehingga berapa pun kuatnya gempa yang terjadi dan kapan pun gempa akan terjadi kita akan dapat meminimalkan risiko yang akan terjadi.

Usaha untuk meminimalkan risiko bencana ini tentunya tidak mudah. Banyak sekali permasalahan yang dapat dihadapi, khusunya oleh negara-negara sedang berkembang. Sebagai contoh, peristiwa gempa bumi dengan kekuatan yang sama tetapi dapat menghasilkan risiko bencana yang berbeda jika dihadapi oleh dua kondisi masyarakat yang berbeda. Jepang sebagai salah satu negara maju sama kondisinya dengan Indonesia dalam hal seringnya terjadi gempa. Akan tetapi, risiko bencana gempa yang dialami Jepang relatif sedikit dibandingkan dengan Indonesia. Permasalahan utama yang dapat muncul pada negara-negara sedang berkembang adalah kekurangan pengetahuan, teknologi, dan alat bantu. Di samping itu juga karena kekurangan pengalaman yang dapat menjelaskan mengapa begitu banyak bahaya dapat menjadi bencana, keterbatasan akses pengetahuan, pengalaman, alat bantu, informasi dan data serta keterbatasan peran ilmuwan dalam aspek sosial dan pengambil keputusan.

0 komentar: